KIBLAT.NET – Muslim Sunni Suriah telah menghadapi pembantaian brutal oleh Suriah rezim Nushairiyah Bashar Assad selama lebih dari tiga tahun. Menurut data Syrian Network untuk HAM korban kezaliman rezim Syiah tersebut sampai 30 Juni 2014 mencapai 126 ribu, 106 ribu di antaranya adalah korban sipil.[1]
Masjid-masjid dihancurkan dan dinodai kesuciannya. Kaum muslimin dibombardir saat menunaikan shalat Jum’at. Dalam rentang waktu 15 Mei 2011 sampai 6 Juni 2013, militer Bashar Assad telah menghancurkan lebih dari 1451 masjid, antara hancur total dan sebagian. Tidak kurang dari 48 Khatib dan Imam masjid ikut terbunuh dalam penghancuran ini.[2]
Dari aspek hukum, Rabithah Ulama Suriah telah menetapkan bahwa jihad melawan kezaliman Bashar Assad berlaku fardhu ain bagi setiap muslim Suriah. [3] Bagi kaum muslimin di luar Suriah, hukum itu berlaku bila muslim Suriah sendiri tidak mampu melaksanakan kewajiban tersebut. Kewajiban ini berlaku secara berurutan dari yang terdekat sampai yang paling jauh, seperti yang akan kami sebutkan,insya Allah.
Berlakunya fardhu ain mulai dari kaum muslimin yang terdekat (minal aqrab fal aqrab) ketika penduduk setempat tidak mampu melaksanakan kewajiban tersebut telah mengundang kepedulian kaum muslimin dunia untuk membantu rakyat Suriah. Sejak awal konflik sampai Maret 2013 diperkirakan 2000 sampai 5500 mujahidin dari luar telah memasuki Suriah[4] dan berjuang demi membela saudara-saudara mereka yang terzalimi. Jabhah Nusrah, misalnya, yang pejuangnya banyak dari luar Suriah, mengangkat slogan: “Wahai penduduk Suriah, Kami tebus kalian dengan darah kami.”[5]
Kepedulian kaum muslimin untuk menolong saudara-saudara mereka yang terzalimi itu tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga wanita muslimah. Dalam kaitan ini, beberapa persoalan fikih terkait wanita menjadi topik yang sering ditanyakan kepada para ulama. Terutama terkait izin bagi wanita untuk berjihad ketika hukumnya fardhu ain dan safar mereka untuk masuk ke medan jihad.
Para Ulama empat mazhab telah sepakat bahwa ketika jihad fardhu ain, wanita tidak perlu izin kepada suaminya untuk berjihad. Demikian pula budak kepada tuannya.
Ulama Hanafi Imam Al-Kassani rh. mengatakan, “Bila ada seruan umum akibat serangan musuh ke dalam negeri, maka hukumnya fardhu ain bagi setiap individu muslim yang mampu berjihad. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat.” Disebutkan bahwa ayat ini turun dalam masalah perintah umum untuk berperang.
Allah berfirman:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنْ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
“Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada (mencintai) diri rasul.” (At-Taubah: 120).
Juga, karena kewajiban atas setiap orang sebelum ada seruan umum telah tetap. Karena lepasnya kewajiban bagi yang lain karena dilakukan oleh sebagian lainnya. Bila seruan bersifat umum, maka pelaksanaannya tidak bisa tercapai kecuali oleh setiap orang. Maka hukumnya tetap fardhu ain bagi setiap orang seperti kewajiban puasa dan shalat.
Dengan demikian, seorang budak boleh keluar untuk berjihad tanpa izin tuannya; wanita tidak perlu izin suaminya. Sebab, dalam hal ibadah yang sifatnya fardhu ain, fungsi budak dan istri dikecualikan dari kepemilikan tuan dan suami secara syariat. Seperti puasa dan shalat. Pun demikian, anak boleh keluar untuk berjihad tanpa izin kedua orang tuanya karena hak kedua orang tua tidak dimenangkan dalam fardhu ain seperti puasa dan shalat. Wallahu a’lam.” (Bada’i Al-Shana’i fi tartibi Asy-Syara’i, XV/271-271)
Ulama Hanafi lainnya, Ibnu Maudud Al-Maushili mengatakan, “Jihad hukumnya fardhu ain ketika ada seruan umum, dan fardhu kifayah ketika itu tidak ada. Saat fardhu ain, memerangi orang-orang kafir wajib bagi setiap laki-laki yang berakal, sehat, merdeka, dan mampu. Bila menyerang musuh hukumnya wajib bagi semua orang untuk melawan, maka istri dan budak boleh keluar (untuk berjihad) tanpa izin suami dan tuan.” (Al-Ikhtiyar li Ta’lil Al-Mukhtar, I/46)
Az-Zulai’i berkata, “…Jihad fardhu ain bila musuh menyerbu. Maka wanita dan budak boleh keluar tanpa izin suami dan tuannya. Karena tujuan yang diinginkan tidak tercapai kecuali dilakukan oleh semua orang. Maka wajib bagi setiap orang. Hak suami dan tuan tidak dimenangkan dalam kondisi fardhu ain, seperti shalat dan puasa. Ini berbeda ketika belum ada seruan umum karena dengan selain mereka sudah cukup. Jadi tidak perlu mengabaikan hak keduanya. Demikian pula anak boleh keluar tanpa izin kedua orang tuanya.” (Tabyin Al-Haqa’iq Syarh Kanzil Daqaiq, IX/266)
Ibnu Abidin mengatakan, “Jihad fardhu ain bila musuh menyerbu. Maka setiap orang harus berjihad meskipun tanpa izin. Suami dan semacamnya berdosa bila melarang istrinya. Ungkapannya: Fardhu ain maknanya adalah wajib bagi orang yang terdekat dengan musuh. Bila mereka tidak mampu atau kewalahan, maka orang-orang yang terdekat dengan mereka wajib berjihad, dan seterusnya diwajibkan seperti ini secara berurutan bagi setiap muslim di barat maupun timur.”
Bila musuh menyerang, maksudnya adalah bila mereka masuk ke dalam negeri secara tiba-tiba. Dalam kondisi seperti ini berlaku seruan umum. Ia mengatakan di Al-Ikhtiyar, “Mobilisasi umum berlaku bagi semua muslim. Ungkapannya: Semua keluar, maknanya adalah semua wanita, budak, orang yang memiliki hutang, dan selain mereka. As-Sarakhsiy mengatakan, “Demikian pula anak-anak yang belum balig bila mampu berperang, tidak apa-apa untuk keluar dan berperang dalam kondisi mobilisasi umum, meskipun bapak dan ibu mereka tidak menginginkannya.” (Radd Al-Muhtar, XV/425)
Ulama Malikiyah Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Ada keadaan yang mewajibkan jihad bagi semua orang untuk berangkat. Yaitu (keempat) ketika musuh mendominasi suatu wilayah atau merebut kekuasaan. Bila demikian, penduduk negeri tersebut wajib berangkat berjihad baik dalam keadaan ringan maupun berat, tua maupun muda. Setiap orang harus berbuat sesuai kemampuannya. Siapa yang memiliki orang tua boleh keluar tanpa izinnya. Orang yang tidak memiliki orang tua juga harus keluar. Orang yang mampu berangkat tidak boleh tertinggal, baik orang miskin maupun kaya.
Bila penduduk negeri tersebut tidak mampu melawan musuh, kaum muslimin yang terdekat dan bertetangga harus keluar untuk melaksanakan kewajiban seperti penduduk setempat. Sampai mereka yakin bahwa mereka mampu menegakkan jihad dan melawan musuh.
Demikian pula setiap orang yang mengetahui kelemahan mereka melawan musuh atau tahu bahwa ia bisa membantu mereka, maka ia wajib juga berangkat ke mereka. Setiap orang muslim adalah penolong bagi sesama mereka. Ketika penduduk yang negerinya diserang dan dijajah musuh mampu menghadangnya, kewajiban ini gugur bagi yang lain.
Bila musuh mendekati negeri Islam, namun tidak memasukinya, kaum muslimin harus berjaga di sana sampai agama Allah unggul dan persatuan kaum muslimin terjaga. Wilayah Islam terjaga dan musuh hina. Tiada perbedaan dalam hal ini.” (Tafsir Al-Qurthubi, VIII/151-152).
Ulama Syafi’iyah Imam Nawawi berkata, “Kondisi kedua adalah jihad yang hukumnya fardhu ain. Bila orang-orang kafir menjajah negeri muslim atau …. Dibolehkan seorang istri keluar tanpa meminta izin suaminya, seperti juga budak tidak perlu izin tuannya. Izin kepada kedua orang tua dan pemilik hutang juga tidak diperlukan.” (Raudhatu Ath-Thalibin, IV/1)
Imam Zakaria Al-Anshari mengatakan, “Jihad menjadi wajib ain bagi mereka bila musuh masuk. Bila orang-orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, jihad menjadi fardhu ain bagi mereka …. Seorang tuan tidak boleh melarang budaknya. Suami tidak boleh melarang istrinya. Yang pokok tidak boleh melarang yang cabang, dan pemberi hutang tidak boleh melarang yang berhutang kepadanya.” (Asna Al-Mathalib, XX, 284).
Ulama Hambaliyah Ibnu Qudamah berkata, “Bila anak berangkat berjihad dalam kondisi tathawu’ (tidak wajib) ia harus izin kepada kedua orang tua. Bila orang tua melarangnya saat ia telah dalam perjalanan dan hukum jihadnya belum wajib, maka ia harus pulang. Sebab, bila larangan berlaku sebelum berangkat, saat sudah berangkat pun larangan itu berlalu, seperti juga larangan lainnya.
Kecuali jiwanya terancam bila pulang atau ada uzur yang dialami, seperti sakit, bekal habis dan semacamnya. Bila memungkinkan ia harus berhenti di perjalanan. Bila itu tidak mungkin, ia boleh meneruskan perjalanan bersama pasukan. Namun, bila ia telah bersiap di barisan perang, hukumnya menjadi wajib ain dengan kehadirannya itu, dan izin kedua orang tua tidak berlaku.
Bila kedua orang tua menarik izinnya setelah jihad menjadi fardhu ain bagi anaknya, larangan keduanya tidak berlaku baginya.” (Al-Mughni, XX/436).
Di tempat lain Ibnu Qudamah mengatakan, “Pasal tentang orang yang memiliki hutang yang jatuh tempo atau belum waktu membayarnya, ia tidak boleh berangkat ke medan perang kecuali diizinkan oleh pemberi hutang. Kecuali ia meninggalkan jaminan, ada penjamin hutang, atau meyakinkan dengan agunan. Imam Syafi’ berpendapat demikian Imam Malik memberikan rukhshah dalam perang bagi orang yang tidak mampu membayar utangnya karena ia tidak mampu memenuhi tuntutan dan tidak perlu ditahan karena utangnya. Ia tidak boleh dilarang untuk berperang seperti ia tidak memiliki hutang.
Kami (madzab Hambali) berpendapat bahwa jihad bertujuan mendapatkan kesyahidan yang dengan itu nyawa akan hilang dari raga. Hak orang lain pun menjadi hilang dengan kematian tersebut. Padahal, ada riwayat bahwa seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, bila aku terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar dan berharap pahala, apakah dosa-dosaku diampuni?” Beliau menjawab, “Ya, kecuali hutang. Karena Jibril mengatakan hal itu kepadaku.” (HR Muslim).
Namun bila jihad menjadi fardhu ain, orang yang berhutang tidak perlu izin kepada pemberi hutang. Sebab ia terikat dengan fardhu ainnya. Ini didahulukan daripada tanggungannya, seperti juga yang berlaku dalam seluruh fardhu ain.”(Al-Mughni, XX/438)
Ibnu Qudamah menambahkan, “Wajib bagi manusia bila musuh datang untuk berperang semuanya, baik yang miskin maupun yang kaya. Pada dasarnya mereka tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan izin Amir (penguasa), kecuali musuh telah menyerang …. Allah mencela orang-orang yang pulang lagi ke rumah-rumah mereka pada Perang Ahzab:
وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إنْ يُرِيدُونَ إلَّا فِرَارًا
‘Sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari.’ (Al-Ahzab: 13)
Sebab bila musuh telah datang, jihad menjadi fardhu ain bagi mereka. Wajib bagi semua pasukan. Tidak seorang pun boleh mengundurkan diri darinya.” (Al-Mughni, XX/445)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Bila musuh menyerang negeri Islam, tidak diragukan bahwa orang-orang yang terdekat wajib melawannya, kemudian yang terdekat dengan mereka. Sebab semua negeri Islam kedudukannya satu negeri (tidak dipisah-pisah). Pergi ke medan jihad tersebut wajib, tanpa izin orang tua bagi anak, dan pemberi hutang bagi orang yang berhutang.” (Al-Fatawa Al-Kubra, IV/609).
Kepergian Muslimah Tanpa Mahram
Syariat memang membolehkan bagi wanita muslimah untuk berjihad saat medan jihad memerlukan itu. Al-Bukhari telah membuat beberapa bab dalam Sahihnya tentang hal ini:
1. Bab Perang wanita di laut
2. Bab Laki-laki membawa salah satu istrinya dalam perang
3. Bab Kaum wanita menangani korban luka dalam medan perang
4. Bab Kaum wanita mengembalikan pasukan yang terluka dan terbunuh
Namun, seorang wanita tidak boleh melakukan safar untuk berjihad —meskipun hukumnya fardhu ain— kecuali bersama mahramnya. Di antara dalilnya adalah:
Bukhari meriwayatkan dari Malik dari Sa’id bin Abu Sa’id dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم منها
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, melakukan safar sejauh perjalanan selama sehari semalam kecuali bersama mahramnya.”
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Di kitab At-Tamhid disebutkan hadits Anas bahwa Nabi saw berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Juga, hadits Ar-Rubai’ binti Mu’awidz bin Afra’ bawa dikatakan kepadanya, “Apakah kalian keluar bersama Rasulullah dalam perang?” Ia menjawab, “Benar! Kami keluar bersama beliau untuk memberi minum dan mengobati yang luka. Semua ini terikat dengan sabda beliau saw, “Seorang wanita tidak boleh safar selama sehari semalam kecuali bersama suami atau mahramnya.” (Al-Istidzkar, I/302).
Badruddin Al-Aini mengomentari hadits tersebut, “Maknanya bahwa wanita tidak boleh safar kecuali bersama mahramnya. Lafaz yang umum ini mencakup safar secara umum, sehingga diharamkan baginya safar tanpa mahram, baik safarnya banyak maupun sedikit, untuk haji maupun lainnya.”(Umdatul Qari Syarh Sahih Al-Bukhari, XVI/147).
Hanya saja, ulama sepakat bahwa wanita dibolehkan hijrah dari Negeri Kafir, bila masuk Islam di sana, ke Negeri Islam, tanpa mahram. Hal ini karena keadaan darurat, selain karena kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam safar tanpa mahram akan terjadi bila menetap di Negeri Kafir. Maka yang lebih kuat adalah boleh safar yang sementara daripada menetap selamanya (di Negeri Kafir).
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang berkata, “Nabi saw bersabda, ‘Janganlah wanita safar kecuali bersama mahram, dan janganlah seorang laki-laki masuk ke tempatnya kecuali ada mahram bersamanya. Seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, saya ingin bergabung dalam pasukan ini dan itu, tetapi istri saya ingin beribadah haji.” Beliau bersabda, “Pergilah bersamanya (istrimu).”
Hadits ini menunjukkan wanita tidak boleh pergi berjihad kecuali ada mahram karena Nabi memberikan keringanan kepada orang tersebut untuk tidak berjihad dan menemani istrinya beribadah haji. Ini menunjukkan bahwa larangan bagi wanita pergi jihad tanpa mahram lebih jelas.[6]
Peran Muslimah di Medan Jihad
Rakyat Suriah telah menderita. Banyak wanita dan anak-anak dinodai. Maka keinginan muslimah atau mujahid yang hendak membawa istrinya ke medan jihad harus bisa menunjukkan peran yang jelas, sehingga tidak menambah beban di lapangan.[7]
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi pernah berkirim surat kepada Syaikh Abu Muhammad Al-Jaulani agar mujahidin benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan sebelum mengizinkan para muslimah masuk ke Suriah. Peringatan ini disampaikan menyusul terjadinya penangkapan sejumlah muslimah di perbatasan Yordania-Suriah. Hal ini penting sebab ketika tertangkap oleh keamanan Thaghut, mereka akan menghadapi kehinaan. Pemeriksaan fisik tanpa pendamping laki-laki, dipermalukan di penjara, dihinakan, pencabulan dan lainnya.[8]
Karena itulah, ulama memberikan beberapa batasan kelayakan dan aturan hukum bagi muslimah yang hendak pergi ke medan jihad:
Pertama: Berangkat bersama mahram dan perginya ke medan jihad memiliki faidah dan memang dibutuhkan perannya. Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, “Kami bersama Nabi saw untuk memberi minum dan mengobati prajurit yang terluka, dan memulangkan korban yang gugur ke Madinah.” (HR Al-Bukhari).
Ummu Athiyyah Al-Anshariyyah berkata, “Aku ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang pasukan. Akulah yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang luka-luka, dan membantu yang sakit.” (HR Muslim)
Bila tidak ada kepentingan, maka wanita tidak dianjurkan keluar ke medan jihad karena hukum dasar bagi wanita adalah menetap di rumah dan jihad tidak wajib bagi mereka. Aisyah radhiaullah anha pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada kewajiban jihad bagi wanita?
‘Ya Rasulullah, apakah ada kewajiban berjihad bagi kaum wanita?’ Beliau berkata: ‘Bagi wanita adalah jihad yang tidak ada peperangan padanya (yaitu) haji dan umrah.’” (HR Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani, lihat Shahih at-Targhiib No. 1099).
Kedua: Keluar bersama pasukan yang memiliki kekuatan besar dan bisa melindungi mereka.
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Keluarnya para wanita ke medan jihad bersama mahram dan suami-suami mereka dibenarkan—wallahu a’lam—bila berada di kamp yang besar dan besar kemungkinan aman bagi mereka.” Al-Istidzkar, I/302).
Ketiga: Menjaga hijab dan menjauh dari kaum laki-laki agar tidak menimbulkan fitnah bagi mujahidin. Hal ini berlaku umum, bukan hanya di medan jihad.
Dapat disimpulkan, kewajiban jihad, saat berlaku bagi muslimah, menuntut mereka belajar seni perang, penggunaan senjata dan keahlian lain di medan perang. Hal ini penting agar kehadiran mereka bisa membantu mujahidin. Atau sekurang-kurangnya bisa membela dan menjaga dirinya sendiri dari ancaman musuh.[9]
Bila tidak, kehadiran wanita di medan jihad hanya akan mengundang bahaya dan menjadi intaian musuh di medan jihad yang keras. Beberapa waktu lalu, kita mendengar kabar sejumlah muslimah yang suami-suami mereka telah gugur, membentuk satuan perang. Mereka terjun ke medan jihad. Apa yang mereka lakukan ini sesuai dengan penjelasan para ulama tadi. Sebab mereka adalah penduduk lokal dan jihad hukumnya fardhu ain bagi mereka. (Agus Abdullah).
========
[1] Lihat http://sn4hr.org/arabic/
[2] http://sn4hr.org/public_html/wp-content/pdf/arabic/استهداف%20المساجد%20من%20قبل%20القوات%20الحكومية.pdf
[3] http://www.islamsyria.com/consult.php?action=details&COID=298
[4] /2013/12/21/download-laporan-syamina-foreign-fighters-di-suriah-siapa-terancam/
[5] http://www.youtube.com/watch?v=al18-rX1rKs
[6] http://www.tawhed.ws/FAQ/display_question?qid=5096
[7] Lihat http://www.tawhed.ws/FAQ/display_question?qid=8160
[8] Lihat http://tawhed.ws/r?i=05061401
[9] http://www.tawhed.ws/FAQ/display_question?qid=5096
Tidak ada komentar:
Posting Komentar